From: Pontas Silalahi <pontheags@yahoo.com>
Date: 2012/9/19
Subject: [Diskusi HRD Forum] Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)...mantap pak
To: "Diskusi-HRD@yahoogroups.com" <Diskusi-HRD@yahoogroups.com>
Hebat pak
Barkah,
Walaupun
katanya tidak berlatar dari Hukum tetapi sudah dapat membuat gambaran secara
komprehensif tentang Perjanjian, undang2 dan latar belakangnya.
Pak, Perjanjian
kerja adalah bagian dari Hukum Perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Buku
III tentang Perikatan ( didalam KUHPer ).
Tetapi kalau kita kembali ke topiknya : Bagaimana sih memahami ketentuan
per UUan yang dianggap Multi Tafsir?.
Kalau
dikalangan orang hukum pak ada anekdot : ada 100 Sarjana Hukum....Pasti ada 100
tafsir atau opini, dan itu dihargai. jadi kesimpulannya?
Mulfitafsir itu
biasa dan memperkaya wawasan bagi kalangan ahli hukum.
Jadi kalau HRD
nya yang satu dari latar belakang Sarjana Hukum dan yang lain dari latar
belakang disiplin Ilmu lain, dalam menafsirkan Peraturan atau Undang undang
bisa sangat berbeda. oleh karena itu mari kita nikmati saja seperti " air
mengalir", mari kita terus berdiskusi dan berkarya.....masalah HASIL...?,
masing masing Pribadi kitalah yang tau apakah berguna bagi kita dan Perusahaan
atau tidak.
Sekali lagi,
Salut buat
bapak, dan teruslah berkarya.
Salam hormat,
Pontas
Dari: sbarkah <sbarkah@gmail.com>
Kepada: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Dikirim: Selasa, 18 September 2012 22:39
Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)
Kepada: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Dikirim: Selasa, 18 September 2012 22:39
Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)
Dear
Pak Sinurat,
No
worries, Pak. Terima kasih sudah dikembalikan ke topiknya. Saya kuatir rekan
milis hanya tertarik berdiskusi dengan hal-hal yang kasuistis (case by case)
daripada hal-hal yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh (tidak
parsial).
Dear
rekans diskusi,
Bagaimana
kalau saya memahami ketentuan perUUan yang seringkali menjadi muti tafsir yang
dikarenakan beberapa hal/sebab termasuk yang telah disampaikan oleh Pak Sinurat
dengan menggunakan sbb:
- Asas hukum/adagium.
- Hierarki perUUan (UU 12/2011 ttg tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
- Beberapa pasal dalam KUH Perdata
Dalam
beberapa asas hukum/adagium dikenal sbb:
- Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya).
- Lex posteriori derogat lege priori (Peraturan yang TERBARU mengesampingkan peraturan yang SEBELUMNYA).
- Lex specialis derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan peraturan yang bersifat LEBIH UMUM).
- LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan). LEX DURA SED ITA SCRIPTA atau LEX DURA SED TAMENTE SCRIPTA (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian – pasal 11 KUHP).
- NTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).
- LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT – Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim. Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10).
Dalam
UU 12/2012 dalam Pasal 7 dinyatakan
sbb:
(1) Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan
Pemerintah;
e. Peraturan
Presiden;
f.
Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
Beberapa
pasal dalam KUH Perdata diantaranya sbb:
1320; 1338; 1339; 1342 – 1351.
1320.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
1338.
Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu
perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu
perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
1339.
Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang.
Tentang penafsiran suatu perjanjian
1342. Jika kata-kata suatu
perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud
kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti
kata menurut huruf.
1344. Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka
janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu
dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu
dilaksanakan. (KUHPerd. 887.)
1345. Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus
dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat perjanjian. (KUHPerd. 887.)
1346. Perkataan yang mempunyai dua arti harus
diterangkan menurut kebiasaan di dalam negeri atau di tempat perjanjian dibuat.
(AB. 15.)
1347. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut
kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam perjanjian, walaupun tidak
dengan tegas dimasukkan dalam perjanjian. (KUHPerd. 1339, 1492.)
1348. Semua janji yang diberikan dalam satu perjanjian
harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus
ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh perjanjian.
1349. Jika ada
keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang
minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya
dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)
1350. Betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan
untuk menyusun suatu perjanjian, perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang
nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat perjanjian. (KUHPerd.
1854.)
1351. Jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal
untuk mewelaskan perikatan, hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi
kekuatan persetujuan itu menurut hukum dalam hal-hal yang tidak disebut dalam
persetujuan.
Dari
ketiga rujukan (asas hukum/adagium, hierarki perUUan maupun KUH Perdata)
tersebut diatas, jika dalam diskusi tentang ketentuan UU Ketenagakerjaan (UU
13/2003), maka terdapat:
- Pasal 52 ayat (3) terkait ketentuan Perjanjian Kerja (PK) versus perUUan yang berlaku.
- Pasal 111 ayat (2) terkait Peraturan Perusahaan (PP) versus versus perUUan yang berlaku, dan
- Pasal 124 ayat (2) terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) versus versus perUUan yang berlaku.
Tentunya,
ketiga pasal tersebut diatas ada penjelasannya.
Dari
beberapa/sebagian perUUan diatas, maka jika terdapat multi tafsir terhadap
ketentuan dalam PK, PP atau PKB, maka karena kesepakatan/perjanjian para pihak
yang sah sebagaimana pasal 1338 KUH Perdata dikategorikan sebagai UU bagi
para pembuatnya, maka kedudukan/hierarki PK, PP, PKB harus dilihat dari kedudukan/tingkatan
para pihak yang membuat UU. Artinya, UU Ketenagakerjaan yang dibuat oleh
Pesiden dan DPR memiliki kedudukan LEBIH TINGGI dari UU (PK/PP/PKB) yg dibuat
oleh Perusahaan/Pengusaha dan Pekerja. CMIIW.
Dengan
kata lain, meskipun PK, PP maupun PKB sebagai UU bagi para pembuatnya, maka
TIDAK SERTA MERTA ketentuan dalam PK, PP maupun PKB tidak dibatasi oleh
ketentuan yang memiliki kedudukan lebih tinggi melalui asas hukum Lex
superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan
peraturan yang LEBIH RENDAH. CMIIW.
Hal
ini tersirat dalam ketentuan UU 13/2003 pasal 52 ayat (3), pasal 111 ayat (2)
maupun pasal 124 ayat (2).
Demikian
juga terkait ketentuan pasal 1320 KUHP versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003.
Pasal 1320 KUH
Perdata:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Pasal 52 ayat
(1) UU 13/2003.
Perjanjian
kerja dibuat atas dasar:
a. Kesepakatan
kedua belah pihak;
b. Kemampuan atau
kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. Pekerjaan yang
diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan
peraturan perundang undangan yang berlaku.
Dalam
perjanjian sesuai pasal 1320 KUH Perdata versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003,
pemahaman saya, ketentuan pasal 52 ayat (1) UU 13/2003 mengesampingkan
ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana asas hukum Lex specialis
derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan
peraturan yang bersifat LEBIH UMUM). CMIIW.
Dalam
pasal 52 ayat (3) UU 13/2003
menyatakan sbb:
Perjanjian
kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Penjelasannya:
Cukup
jelas
1342 KUHP. Jika kata-kata suatu
perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran.
Asas hukum INTERPRETATIO
CESSAT IN CLARIS (jika teks atau
redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi
menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti
penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs
No Expositor (sebuah dalil yang
sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).
Asas hukum Lex superiori derogat lege priori (Peraturan
yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya)
tersurat dalam pasal 111 ayat (2) UU 13/2003 dinyatakan sbb:
Ketentuan
dalam peraturan perusahaan tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Penjelasannya menyatakan sbb:
Yang
dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih
rendah kualitas atau kuantitasnya dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan,
maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 124 ayat
(2) UU 13/2003
menyatakan sbb:
Dalam
hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang
bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan.
Penjelasannya:
Yang
dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah kualitas dan kuantitas
isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan
perundangan-undangan.
Demikian juga dalam KUH Perdata menyatakan
1342. Jika kata-kata suatu
perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan
penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud
kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti
kata menurut huruf.
1349. Jika ada
keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang
minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya
dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)
Dari
beberapa rujukan diatas, apakah tepat untuk memahami
ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir?
Dengan kata lain, jika masih terdapat multi tafsir, sehingga dapat
diperselisihkan, maka sesuai UU 2/2004, maka hakimlah yang akan memutuskan mana
yang sesuai dengan MAKSUD pembuat UU sebagaimana asas hukum LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT – Spreekhuis
van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut
undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang
menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang
adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim.
Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong
undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 :
10)
Monggo dikoreksi dan/atau ditambahkan karena saya orang awam dalam ilmu
hukum ketenagakerjaan yang ingin mengetahui dan memahami ilmu hukum
ketenagakerjaan dengan benar/sesuai dengan perUUan yang berlaku.
Demikian dan terima kasih. Mohon MAAF jika membosankan tulisan saya ini.
Salam,
Barkah
2012/9/18
<suryanto.sinurat@gmail.com>
Dear
all,
Menurut saya perbedaan penafsiran perundang-undangan ketenagakerjaan adalah hal yang sangat wajar, karena akan selalu terkait dengan 2 kepentingan atau sudut pandang para pihak yang terlibat dalam proses produksi, yakni pengusaha dan pekerja/buruh. Di samping itu nature of business perusahaan dan pengalaman masing-masing orang dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU.
Saya pikir pembuat UU juga telah memprediksi hal ini, hingga dalam UU No 2 Tahun 2004 dikenal Perselisihan Hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, PK, PP atau PKB.
Mana penafsiran yang benar sebagaimana sering mencuat dalam tema-tema diskusi selama ini, menurut saya para peserta diskusi yang harus menyaring dan memilah-memilah sesuai kondisi masing-masing perusahaannya. Oleh karenanya agak sulit jika kita mengharapkan akan merucut pada suatu kesimpulan, tetapi setidaknya proses diskusi yang mengalir memperkaya perspektif dan wawasan kita masing-masing.
Regards,
Sinurat
Menurut saya perbedaan penafsiran perundang-undangan ketenagakerjaan adalah hal yang sangat wajar, karena akan selalu terkait dengan 2 kepentingan atau sudut pandang para pihak yang terlibat dalam proses produksi, yakni pengusaha dan pekerja/buruh. Di samping itu nature of business perusahaan dan pengalaman masing-masing orang dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU.
Saya pikir pembuat UU juga telah memprediksi hal ini, hingga dalam UU No 2 Tahun 2004 dikenal Perselisihan Hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, PK, PP atau PKB.
Mana penafsiran yang benar sebagaimana sering mencuat dalam tema-tema diskusi selama ini, menurut saya para peserta diskusi yang harus menyaring dan memilah-memilah sesuai kondisi masing-masing perusahaannya. Oleh karenanya agak sulit jika kita mengharapkan akan merucut pada suatu kesimpulan, tetapi setidaknya proses diskusi yang mengalir memperkaya perspektif dan wawasan kita masing-masing.
Regards,
Sinurat
Powered
by Telkomsel BlackBerry®
From:
jack
sinurat <suryanto.sinurat@gmail.com>
Date:
Tue,
18 Sep 2012 12:51:18 +0700
Subject:
Bagaimana
sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)
Dear
para praktisi HR dan IR,
Terpicu
dari beberapa diskusi/thread terkait perbedaan pemahaman, interpretasi terhadap
ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan sehingga seringkali
diskusinya panjang, namun bukannya mengerucut pada satu "kesimpulan"
(baca: bukan putusan), sebaliknya kadangkala beberapa pemahaman, pendapat atau
tanggapan dari kita semua sulit untuk ditangkap "kesimpulan"
akhirnya.
Semoga
diskusi dalam thread ini menjadi "template" cara menjawab atau
menyelesaikan pertanyaan kasus per kasus berdasarkan perUUan selaku base line
selain mendapatkan latar belakang dibuatnya perUUan terkait.
Mohon
pencerahannya.
Salam,
Barkah
Barkah
Dear
all rekans,
Diskusi
yang sebelumnya dibuat oleh Pak Barkah ini, saya perbaharui lagi sebagai bentuk
permintaan maaf dan penyesalan saya telah merusak Tema Diskusi yang sangat
menarik. Sekali lagi mohon maaf ya Pak Barkah..:-(
So
kembali ke topik yang diajukan oleh Pak Barkah tentang interpretasi terhadap
ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan.
Regards,
sinurat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar