Total Tayangan Halaman

Sabtu, 22 Desember 2012

[Diskusi HRD Forum] Menghitung masa kerja karyawan yang di PHK

Barkah 
      Thu, Dec 20, 2012
to Diskusi-HRD

@ Pak DC-Zack,
Haizzz...

@ Pak Padma,
Saya menangkap bahwa galangan kapal ditempat Bapak tidak mungkin masuk kategori "pekerjaannya sekali selesai/sementara, musiman, paling lama 3 tahun, produk/kegiatan baru, pekerjaan tambahan atau penjajakan". CMIIW.

Prinsipnya, lihatlah bisnis shipyard-nya, bukan orderannya.
Menurut saya, pekerjaan membuat kapal dan memperbaiki kapal di sebuah shipyard, sifatnya sebagai pekerjaan yang terus menerus/tetap.

Sebagaimana PENJELASAN pasal 59 ayat (2) UU 13/2003:
Yang dimaksud dengan pekerjaan yang bersifat tetap dalam ayat ini adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.

Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi obyek perjanjian kerja waktu tertentu.

Boleh saja ada pekerja yg di PKWT-kan yang diperuntukkan pada pekerjaan terus menerus/tetap, namun sebagai pekerjaan tambahan saat orderan mencapai puncak dan tidak terus menerus.

Maksud pasal 9 Kepmen 100/2004.
Misalkan perusahaan baju, saat menjelang lebaran, orderannya melebihi seperti biasanya, sehingga menjelang lebaran itulah, perusahaan boleh meghire pekerja dgn PKWT, meskipun sifat pekerjaan membuat baju pada perusahaan baju adalah terus menerus/tetap.
Tentunya, harus ada manpower planning selama 1 tahun untuk mengetahui memang perlu tambahan pekerja kontrak pada pekerjaan yang bersifat terus menerus.

"Perpanjangan" adalah semacam amandemen jangka waktu berakhirnya PKWT-nya (nomor PKWT dan dimulainya PKWT tidak berubah. Klausulnya boleh tetap, kecuali terdapat hal-hal yang bertentangan dgn perUUan yg berlaku).

"Pembaharuan" adalah PK baru (nomor PK baru, tanggal dimulainya hubker dan jangka waktunya baru, klausulnya baru).
NOTE: tidak semua PKWT boleh diperbaharui ya....


Demikian dan monggo rekan lain menambahkan atau mengkoreksinya.

Salam,
Barkah

Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: "DC > DenCitro Diwangsan" <dencitro@gmail.com>
Date: Wed, 19 Dec 2012 08:06:47 +0700
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Menghitung masa kerja karyawan yang di PHK

 
Saran sy buat rekan Padma P...sebaiknya undang saja om SBarkah untuk kopdar dan diskusi, pasti lebih mudah untuk saling memahami maksud dari ketentuan PKWT per UUK dengan praktek di Shipyard tsb...mumpung om SBarkah lagi di darat nih.
Lokasi Shipyard dimana ? mdh2an jawabannya : di Batam

*dan "team HR rusuh" kayaknya bakal dengan senang hati menemani kopdar semacam ini hehehe
DC-Zack


Pada 19 Desember 2012 01:10, padmopang <punkrxa@gmail.com> menulis:
 

Dear Pak Barkah,

Terima kasih atas tanggapannya, dan mohon maaf kalau ternyata pertanyaan saya sudah sering dibahas di forum ini.
Maksud kata “perlakuan” dalam pertanyaan saya adalah perlakuan penghitungan masa kerja yang kaitannya dengan pembayaran pesangon, hal ini sudah terjawab dengan jelas.

Selanjutnya menanggapi kalimat berikut:
“PKWT-nya telah SESUAI dgn ketentuan PKWT”
Saya COPAS Kepmen 100/2004 sbb:
BAB II
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI
ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA
PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN
Pasal 3
(1) PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang
didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus
demi hukum pada saaat selesainya pekerjaan.
(4) Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan
batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
(5) Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi
tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
(6) Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilakukan setelah melebihi masa
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
(7) Selama tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) tidak ada
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.

BAB IV
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN
DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8
(1) PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan
dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
(2) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling
lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
(3) PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Pasal 9
PKWT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang
melakukan pekerjaan di luar kegiatan atau di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.

Hubungannya dengan kondisi di perusahaan tempat saya bekerja adalah sbb:
Perusahaan tempat saya bekerja adalah perusahaan galangan kapal (shipyard) dimana pekerjaannya adalah membuat kapal baru dan juga memperbaiki kapal. Untuk pembuatan kapal baru waktu pengerjaannya bervariasi, ada yang 1,5 tahun s/d 3 tahun. Teknologi dan konstruksi masing-masing kapal berbeda-beda.
Sedangkan untuk kapal repair ada yang 1hari selesai, tapi ada juga yang sampai 2 tahun baru selesai.
Sebagian besar dari karyawan kami dipekerjakan dengan sistem PKWT terlebih dahulu hingga akhirnya diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT).

Seandainya saya “menganut” pada Penafsiran 2 sebagaimana dalam jawaban bapak, maka keraguan yang muncul ada pada kalimat: “PKWT-nya telah SESUAI dgn ketentuan PKWT” kaitannya dengan Kepmen 100/2004 sperti tersebut diatas. Karena dalam pasal 3 disebutkan pembaharuan dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja. Dalam prakteknya diperusahaan saya mayoritas tidak melalui masa tenggang 30 hari.
Sudah tepatkah sistem PKWT diberlakukan di perusahaan tempat saya bekerja? Atau telah terjadi ketidak SESUAIAN dengan ketentuan PKWT?
Mohon penjelasan untuk kata “dapat diperpanjang” pada ayat 2 dan kata “pembaharuan” pada ayat 3 pasal 8, dimana perbedaannya? Demikian juga tolong dijelaskan maksud dari pasal 9.

Terima kasih sebelumnya atas tanggapannya
Salam,

Padma P





From: Diskusi-HRD@yahoogroups.com [mailto:Diskusi-HRD@yahoogroups.com] On Behalf Of sbarkah@gmail.com
Sent: 18 Desember 2012 0:01
To: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Menghitung masa kerja karyawan yang di PHK

 
Dear Pak Padmo,

Mohon ijin ururn rembug ya...

Pertanyaan Bapak sudah sering ditanyakan dan memang jawabannya ada 2 penafsiran.

Penafsiran 1:
Dalam contoh Bapak, dimana PKWT-nya telah SESUAI dgn ketentuan PKWT, masa kerja dihitung sejak hubker PKWT (kontrak).

Penafsiran 2:
Dalam contoh Bapak, dimana PKWT-nya telah SESUAI dgn ketentuan PKWT, masa kerja dihitung sejak hubker PKWTT (tetap).

Kebetulan saya mengikuti sebuah diskusi (forum) yang menghadirkan salah satu Hakim Ad hoc PHI Jakarta, contoh Pak Padmo dan sepanjang tidak ada penyimpangan atas ketentuan PKWT, belum menjawab bahwa masa kerja dihitung sejak hubker PKWTT (tetap), karena hubker PKWT (kontrak), jangka waktunya terbatas dan PKWT tidak berhak uang pesangon.

Bagaimana perlakuan untuk karyawan yang 2 kali PKWT, di break 1 bulan, kemudian di angkat dgn PKWTT?
(Jika PKWT tidak ada penyimpangan, maka masa kerja terhitung sejak hubker PKWTT/status pekerja permanen).

Bagaimana perlakuan untuk karywan yang 2 kali PKWT—Break—PKWT—PKWTT?
(Perlakuan apa? Kalau yg dimaksudkan adalah perlakuan memperghitungkan uang pesangon, maka sepanjang tidak ada penyimpangan ketentuan PKWTT, uang pesangon dihitung sejak adanya hubker PKWTT).

Bagaimana perlakuan untuk karyawan yang menjalani probation period?
(Perlakuan apa? Yg pasti, perlakukan pekerja yg dipersyaratkan melalui masa percobaan dgn melakukan evaluasi dan mendampinginya).

Demikian dan terbuka ditambahkan/dikoreksi.

Salam,
Barkah

Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: "Padmo Pang" <punkrxa@gmail.com>
Date: Mon, 17 Dec 2012 13:46:37 -0000
Subject: [Diskusi HRD Forum] Menghitung masa kerja karyawan yang di PHK

 
Dear. Bapak/Ibu Praktisi HRD

Contoh kasus:

Karyawan dengan Join date 2 januari 2000 PKWT s/d 1 Juli 2000 (6 bulan) diperpanjang lagi s/d 1 Januari 2001 dan dilanjutkan /diangkat menjadi karyawan tetap (PKWTT) s/d sekarang tahun 2012, kemudian terjadi PHK maka masa kerja karyawan tersebut yang kaitannya dengan perhitungan pembayaran pesangon hanya diakui sejak tanggal 1 Januari 2001(sejak diangkat jadi karyawan tetap). Atau dengan kata lain masa kerja sewaktu karyawan terikat kontrak PKWT tidak diakui sebagai dasar penghitungan pesangon bagi karyawan yang di PHK.

Pertanyaan:
1. Benarkah cara menghitung pesangon & masa kerja karyawan sebagaimana tersebut dalam ilustrasi diatas? Dasar hukum atau UU/peraturan mana yang menjadi landasannya?
2. Bagaimana perlakuan untuk karyawan yang 2 kali PKWT, di break 1 bulan, kemudian di angkat dgn PKWTT?
3. Bagaimana perlakuan untuk karywan yang 2 kali PKWT—Break—PKWT—PKWTT?
4. Bagaimana perlakuan untuk karyawan yang menjalani probation period?

Mohon penjelasannya

TIA

Regards

Padma P

Sabtu, 08 Desember 2012

[Konsultasi-HR] Perkara PHI (Penolakan MUTASI)


From: dRoe <ruru.pangestu@armindocp.co.id>
Date: 2012/6/14
Subject: Re: [Konsultasi-HR] Perkara PHI (Penolakan MUTASI)
To: Konsultasi-HR@yahoogroups.com 

Pak Barkah,
Terima kasih sharing di 'PHI'nya,
Reportase yg mengalahkan ketertarikan saya mengikuti berita Euro :D...

Selamat pagi teman semua :)
Pagi yang cerah..
Semoga penuh barokah tuk kita semuam.

Salam,
Ruru Pangestu
Sent from my Hearth®
powered by Allah SWT

From: sbarkah <sbarkah@gmail.com>
Date: Wed, 13 Jun 2012 19:06:33 +0700
Subject: Re: [Konsultasi-HR] Perkara PHI (Penolakan MUTASI)

Dear All,

Sengaja saya search thread lama tentang penolakan pekerja karena di-MUTASI.

Tadi siang (tgl. 13 Juni 2012) saya "nongkrong" di PHI Jakarta Jl. MT. Haryono Kav 52-54.
Saat itu di Ruang Sidang I sekitar jam 15:00 digelar isidang membacakan PHI atas gugatan Pekerja kepada Perusahaan (Tergugat).
Pengugat yang bertugas sebagai Satpam yang kebetulan mereka (sekitar 7 orang) adalah pengurus SP. Adapun yang diperselisihkan adalah perselisihan hak (upah).

Pokok perkaranya bagi penggugat pada pasal 88 (upah) dan (secara samar kalau tidak salah dengar) pasal 52 ayat (3) UU 13/2003.

Singkat cerita, para pengurus SP melakukan mogok kerja sekitar tahun 2010 (?) (akhirnya dinyatakan oleh Majelis Hakim PHI) SAH dengan P-1 s/d P-8 (kalau tidak salah dengar), namun pasca mogok kerja, perusahaan memutasikan para pengurus SP (sekitar 7 pekerja) dengan dalih kebutuhan operasional. Namun, para pengurus SP tidak berkenan dimutasi dengan dalih perusahaan "melanggar" ketentuan pasal  144 (khususnya) huruf b sbb:
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, pengusaha dilarang:

  1. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
  2. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah melakukan mogok kerja 

Sementara karena para pekerja yang dimutasi tidak berkenan dan tidak mengikuti perintah perusahaan, maka perusahaan menggunakan pasal 168 sebagai dalih pekerja mangkir dan dikategorikan mengundurkan diri.

Singkat cerita, Putusan Majelis Hakim mengadili "mengabulkan" gugatan Pengugat dan dikarenakan Majelis Hakim menilai hubungan kerja tidak mungkin dilanjutkan lagi, maka Majelis mengambil keputusan PHK dengan membebankam "kompensasi" berupa 2 x ketentuan pasal 156 ayat (2), UPMK, UPH dan uang proses kepada Terguat (perusahaan) termasuk biaya perkara dibebankan kepada Tergugat, dikarenakan perkaranya melebihi 150 juta.

Saya kehilangan moment atas sikap dari para pihak (Penggugat maupun Tergugat) ketika Majelis menyampaikan kepada para pihak untuk menerima Putusan PHI atau akan banding ke MA, dikarenakan cukup gaduhnya ruangan sidang akibat teriakan para supporter Penggugat pasca palu diketok oleh Ketua Majelis Hakim.

Demikian sekilas info. Semoga sharing ini bermanfaat sebagai keseimbangan kasus yang mirip (tidak sama persis).
Dan mohon MAAF....apabila ada beberapa info yang kurang akurat dikarenakan kurang jelasnya suara dari para Majelis Hakim yang berada di depan sementara saya duduk dikursi belakang yang agak terganggu dengan masuknya 2 anak kecil yang sempet-sempetnya main game dengan Bapaknya yang NAMPAKNYA selaku supporter Penggugat.

Salam,
Barkah


Ada pak, kebetulan saya pernah membuat buku tentang praktek perselisihan mutasi di PHI. Kalau Bapak berminat, bisa hubungi Pak Yudi di yustinus@employment-inst.org.

Best regards,

Sinurat
Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: antonp <antonp.dongan@gmail.com>
Date: Fri, 30 Sep 2011 09:14:25 +0430
Subject: [Konsultasi-HR] Perkara PHI

mohon sharing dari rekan-rekan semua,

Adakah diantara rekan rekan yang pernah menang perkara di PHI, dalam kasus pekerja di PHK karena alasan menolak Mutasi dan tanpa pemberian uang pesangon.
didalam peraturan perusahaan kami yang sudah disahkan oleh Depnaker, bahwa jika pekerja tidak melaksanakan perintah mutasi dalam 5 hari , maka ybs dapat di pHK tanpa pesangon.

mohon sharingnya
Anton 





__._,_.___


Barkah - Hubker: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing

Barkah - Hubker: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing: From: Asrial Chaniago Date: 2012/11/28 Subject: RE: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing To: Konsultasi-HR@ya...

Sabtu, 01 Desember 2012

[Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing

From: Asrial Chaniago <asrial@seid.sharp-world.com>
Date: 2012/11/28
Subject: RE: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing
To: Konsultasi-HR@yahoogroups.com
 
Saya kira pak Barkah benar.
Untuk merubah kata “antara lain” menjadi “yaitu” yang berdampak besar tersebut, sangat boleh jadi didukung kekuatan besar di belakangnya.
Atau jangan-jangan hanya karena kekurang-terampilan pejabat pembuatnya dalam berbahasa Indonesia?
Menurut guru saya dulu, bagi sebahagian besar suku bangsa di Indonesia, bahasa Indonesia itu adalah bahasa asing (ha..ha..ha, becanda pak).


From: Konsultasi-HR@yahoogroups.com [mailto:Konsultasi-HR@yahoogroups.com] On Behalf Of sbarkah@gmail.com
Sent: Tuesday, November 27, 2012 6:09 PM

To: Konsultasi-HR@yahoogroups.com
Subject: Re: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing

 
Saya sependapat dengan Pak Riyan.
Jika APINDO jadi mem-PTUN-kan Menakertrans, saya kira, salah satu point yg akan dipersoalkan adalah kata "antara lain" dalam PENJELASAN pasal 61 ayat (1) UU 13/2003 yang kemudian "ditangkap" oleh Menakertrans sebagai "pembatasan".

Apakah dibalik memaknai kata "antara lain" terdapat kekuatan tertentu dibelakangnya?

Salam,
Barkah
Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: Riyan Permadi <riyanpermadi@gmail.com>
Date: Tue, 27 Nov 2012 17:51:59 +0800
Subject: Re: [Konsultasi-HR] Blunder Outsourcing

 
Rekan,

Saya rasa perlu diadakan penelitian oleh ahli bahasa dan ahli hukum untuk membahas frasa "antara lain".

Seumur hidup saya mengartikan "antara lain" itu bukan membatasi, melainkan memberikan contoh. Persamaan kata "antara lain" yg saya temukan adalah "diantaranya", "seperti" dan "misalnya".

Salam,
Riyan

Jumat, 23 November 2012

Putusan MK No. : 37/PUU-IX/2011 ttg Uang proses pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.


Putusan MK No. : 37/PUU-IX/2011 ttg Uang proses pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.



Putusan MK No. : 27/PUU-IX/2011 ttg “Outsourcing” pasal 65 & 66 UU 13/2003.


Putusan MK No. : 27/PUU-IX/2011 ttg “Outsourcing” pasal 65 & 66 UU 13/2003.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_27%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL  DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA  KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI  REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : B.31/PHIJSK/I/2012 TENTANG  PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  NOMOR 27/PUU-IX/2011
http://depnakertrans.go.id/uploads/doc/perundangan/19849235554f279ce55ee32.pdf



Salam,
Barkah

Putusan MK No. : 115/PUU-VII/2009 ttg Jumlah SP/SB dalam pasal 120 ayat (1) UU 13/2003

Putusan MK No. : 115/PUU-VII/2009 ttg Jumlah SP/SB dalam pasal 120 ayat (1) UU 13/2003

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20115%20telah%20baca.pdf



Permenakertrans Nomor PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
http://depnakertrans.go.id/uploads/doc/perundangan/8952415504ee055043303f.pdf


Salam,
Barkah


Putusan MK No. : 012/PUU-I/2003 ttg Kesalahan berat (pasal 158 UU 13/2003)

Putusan MK No. : 012/PUU-I/2003 ttg Kesalahan berat (pasal 158 UU 13/2003)




Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir?




From: Pontas Silalahi <pontheags@yahoo.com>
Date: 2012/9/19
Subject: [Diskusi HRD Forum] Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)...mantap pak
To: "Diskusi-HRD@yahoogroups.com" <Diskusi-HRD@yahoogroups.com>
 
Hebat pak Barkah,
Walaupun katanya tidak berlatar dari Hukum tetapi sudah dapat membuat gambaran secara komprehensif tentang Perjanjian, undang2 dan latar belakangnya.

Pak, Perjanjian kerja adalah bagian dari Hukum Perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Buku III tentang Perikatan ( didalam KUHPer ).

Tetapi kalau kita kembali ke topiknya : Bagaimana sih memahami ketentuan per UUan yang dianggap Multi Tafsir?.

Kalau dikalangan orang hukum pak ada anekdot : ada 100 Sarjana Hukum....Pasti ada 100 tafsir atau opini, dan itu dihargai. jadi kesimpulannya?
Mulfitafsir itu biasa dan memperkaya wawasan bagi kalangan ahli hukum.
Jadi kalau HRD nya yang satu dari latar belakang Sarjana Hukum dan yang lain dari latar belakang disiplin Ilmu lain, dalam menafsirkan Peraturan atau Undang undang bisa sangat berbeda. oleh karena itu mari kita nikmati saja seperti " air mengalir", mari kita terus berdiskusi dan berkarya.....masalah HASIL...?, masing masing Pribadi kitalah yang tau apakah berguna bagi kita dan Perusahaan atau tidak.

Sekali lagi,
Salut buat bapak, dan teruslah berkarya.

Salam hormat,
Pontas


Dari: sbarkah <sbarkah@gmail.com>
Kepada: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Dikirim: Selasa, 18 September 2012 22:39
Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)

Dear Pak Sinurat,
No worries, Pak. Terima kasih sudah dikembalikan ke topiknya. Saya kuatir rekan milis hanya tertarik berdiskusi dengan hal-hal yang kasuistis (case by case) daripada hal-hal yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh (tidak parsial).

Dear rekans diskusi,

Bagaimana kalau saya memahami ketentuan perUUan yang seringkali menjadi muti tafsir yang dikarenakan beberapa hal/sebab termasuk yang telah disampaikan oleh Pak Sinurat dengan menggunakan sbb:

  1. Asas hukum/adagium.
  2. Hierarki perUUan (UU 12/2011 ttg tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
  3. Beberapa pasal dalam KUH Perdata

Dalam beberapa asas hukum/adagium dikenal sbb:
  1. Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya).
  2. Lex posteriori derogat lege priori (Peraturan yang TERBARU mengesampingkan peraturan yang SEBELUMNYA).
  3. Lex specialis derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan peraturan yang bersifat LEBIH UMUM).
  4. LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan). LEX DURA SED ITA SCRIPTA atau LEX DURA SED TAMENTE SCRIPTA (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian – pasal 11 KUHP).
  5. NTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).
  6. LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim. Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10).

Dalam UU 12/2012 dalam Pasal 7 dinyatakan sbb:
(1)  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.       Peraturan Pemerintah;
e.       Peraturan Presiden;
f.        Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2)  Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Beberapa pasal dalam KUH Perdata diantaranya sbb:

1320; 1338; 1339; 1342 – 1351.

1320.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.


1338.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

1339.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

  
Tentang penafsiran suatu perjanjian

1342. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.
1344. Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan. (KUHPerd. 887.)
1345. Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat perjanjian. (KUHPerd. 887.)
1346. Perkataan yang mempunyai dua arti harus diterangkan menurut kebiasaan di dalam negeri atau di tempat perjanjian dibuat. (AB. 15.)
1347. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam perjanjian, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam perjanjian. (KUHPerd. 1339, 1492.)
1348. Semua janji yang diberikan dalam satu perjanjian harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh perjanjian.
1349. Jika ada keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)
1350. Betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu perjanjian, perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat perjanjian. (KUHPerd. 1854.)
1351. Jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal untuk mewelaskan perikatan, hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan itu menurut hukum dalam hal-hal yang tidak disebut dalam persetujuan.


Dari ketiga rujukan (asas hukum/adagium, hierarki perUUan maupun KUH Perdata) tersebut diatas, jika dalam diskusi tentang ketentuan UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003), maka terdapat:
  1. Pasal 52 ayat (3) terkait ketentuan Perjanjian Kerja (PK) versus perUUan yang berlaku. 
  2. Pasal 111 ayat (2)  terkait Peraturan Perusahaan (PP) versus versus perUUan yang berlaku, dan 
  3. Pasal 124 ayat (2) terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) versus versus perUUan yang berlaku.
Tentunya, ketiga pasal tersebut diatas ada penjelasannya.

Dari beberapa/sebagian perUUan diatas, maka jika terdapat multi tafsir terhadap ketentuan dalam PK, PP atau PKB, maka karena kesepakatan/perjanjian para pihak yang sah sebagaimana pasal 1338 KUH Perdata dikategorikan sebagai UU bagi para pembuatnya, maka kedudukan/hierarki PK, PP, PKB harus dilihat dari kedudukan/tingkatan para pihak yang membuat UU. Artinya, UU Ketenagakerjaan yang dibuat oleh Pesiden dan DPR memiliki kedudukan LEBIH TINGGI dari UU (PK/PP/PKB) yg dibuat oleh Perusahaan/Pengusaha dan Pekerja. CMIIW.
Dengan kata lain, meskipun PK, PP maupun PKB sebagai UU bagi para pembuatnya, maka TIDAK SERTA MERTA ketentuan dalam PK, PP maupun PKB tidak dibatasi oleh ketentuan yang memiliki kedudukan lebih tinggi melalui asas hukum Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH. CMIIW.
Hal ini tersirat dalam ketentuan UU 13/2003 pasal 52 ayat (3), pasal 111 ayat (2) maupun pasal 124 ayat (2).

Demikian juga terkait ketentuan pasal 1320 KUHP versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003.

Pasal 1320 KUH Perdata:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Pasal 52 ayat (1) UU 13/2003.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.       Kesepakatan kedua belah pihak;
b.       Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.       Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.       Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Dalam perjanjian sesuai pasal 1320 KUH Perdata versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003, pemahaman saya, ketentuan pasal 52 ayat (1) UU 13/2003 mengesampingkan ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana asas hukum Lex specialis derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan peraturan yang bersifat LEBIH UMUM). CMIIW.

Dalam pasal 52 ayat (3) UU 13/2003 menyatakan sbb:
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Penjelasannya:
Cukup jelas

1342 KUHP. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.

Asas hukum INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).

Asas hukum Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya) tersurat dalam pasal 111 ayat (2) UU 13/2003 dinyatakan sbb:

Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Penjelasannya menyatakan sbb:
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 124 ayat (2) UU 13/2003 menyatakan sbb:

Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Penjelasannya:
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan.


Demikian juga dalam KUH Perdata menyatakan
1342. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.
1349. Jika ada keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)

Dari beberapa rujukan diatas, apakah tepat untuk memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir?
Dengan kata lain, jika masih terdapat multi tafsir, sehingga dapat diperselisihkan, maka sesuai UU 2/2004, maka hakimlah yang akan memutuskan mana yang sesuai dengan MAKSUD pembuat UU sebagaimana asas hukum LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim.
Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10)

Monggo dikoreksi dan/atau ditambahkan karena saya orang awam dalam ilmu hukum ketenagakerjaan yang ingin mengetahui dan memahami ilmu hukum ketenagakerjaan dengan benar/sesuai dengan perUUan yang berlaku.

Demikian dan terima kasih. Mohon MAAF jika membosankan tulisan saya ini.

Salam,
Barkah



 
Dear all,

Menurut saya perbedaan penafsiran perundang-undangan ketenagakerjaan adalah hal yang sangat wajar, karena akan selalu terkait dengan 2 kepentingan atau sudut pandang para pihak yang terlibat dalam proses produksi, yakni pengusaha dan pekerja/buruh. Di samping itu nature of business perusahaan dan pengalaman masing-masing orang dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU.

Saya pikir pembuat UU juga telah memprediksi hal ini, hingga dalam UU No 2 Tahun 2004 dikenal Perselisihan Hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, PK, PP atau PKB.

Mana penafsiran yang benar sebagaimana sering mencuat dalam tema-tema diskusi selama ini, menurut saya para peserta diskusi yang harus menyaring dan memilah-memilah sesuai kondisi masing-masing perusahaannya. Oleh karenanya agak sulit jika kita mengharapkan akan merucut pada suatu kesimpulan, tetapi setidaknya proses diskusi yang mengalir memperkaya perspektif dan wawasan kita masing-masing.

Regards,

Sinurat
Powered by Telkomsel BlackBerry®


From: jack sinurat <suryanto.sinurat@gmail.com>
Date: Tue, 18 Sep 2012 12:51:18 +0700
Subject: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)

Dear para praktisi HR dan IR,

Terpicu dari beberapa diskusi/thread terkait perbedaan pemahaman, interpretasi terhadap ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan sehingga seringkali diskusinya panjang, namun bukannya mengerucut pada satu "kesimpulan" (baca: bukan putusan), sebaliknya kadangkala beberapa pemahaman, pendapat atau tanggapan dari kita semua sulit untuk ditangkap "kesimpulan" akhirnya.

Semoga diskusi dalam thread ini menjadi "template" cara menjawab atau menyelesaikan pertanyaan kasus per kasus berdasarkan perUUan selaku base line selain mendapatkan latar belakang dibuatnya perUUan terkait.

Mohon pencerahannya.

Salam,
Barkah


Dear all rekans,

Diskusi yang sebelumnya dibuat oleh Pak Barkah ini, saya perbaharui lagi sebagai bentuk permintaan maaf dan penyesalan saya telah merusak Tema Diskusi yang sangat menarik. Sekali lagi mohon maaf ya Pak Barkah..:-(

So kembali ke topik yang diajukan oleh Pak Barkah tentang interpretasi terhadap ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan.

Regards,

sinurat