Total Tayangan Halaman

Jumat, 23 November 2012

Putusan MK No. : 37/PUU-IX/2011 ttg Uang proses pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.


Putusan MK No. : 37/PUU-IX/2011 ttg Uang proses pasal 155 ayat (2) UU 13/2003.



Putusan MK No. : 27/PUU-IX/2011 ttg “Outsourcing” pasal 65 & 66 UU 13/2003.


Putusan MK No. : 27/PUU-IX/2011 ttg “Outsourcing” pasal 65 & 66 UU 13/2003.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_27%20PUU%202011-TELAH%20BACA.pdf


SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL  DAN JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA  KEMENTERIAN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI  REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : B.31/PHIJSK/I/2012 TENTANG  PELAKSANAAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI  NOMOR 27/PUU-IX/2011
http://depnakertrans.go.id/uploads/doc/perundangan/19849235554f279ce55ee32.pdf



Salam,
Barkah

Putusan MK No. : 115/PUU-VII/2009 ttg Jumlah SP/SB dalam pasal 120 ayat (1) UU 13/2003

Putusan MK No. : 115/PUU-VII/2009 ttg Jumlah SP/SB dalam pasal 120 ayat (1) UU 13/2003

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Putusan%20115%20telah%20baca.pdf



Permenakertrans Nomor PER.16/MEN/XI/2011 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama
http://depnakertrans.go.id/uploads/doc/perundangan/8952415504ee055043303f.pdf


Salam,
Barkah


Putusan MK No. : 012/PUU-I/2003 ttg Kesalahan berat (pasal 158 UU 13/2003)

Putusan MK No. : 012/PUU-I/2003 ttg Kesalahan berat (pasal 158 UU 13/2003)




Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir?




From: Pontas Silalahi <pontheags@yahoo.com>
Date: 2012/9/19
Subject: [Diskusi HRD Forum] Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)...mantap pak
To: "Diskusi-HRD@yahoogroups.com" <Diskusi-HRD@yahoogroups.com>
 
Hebat pak Barkah,
Walaupun katanya tidak berlatar dari Hukum tetapi sudah dapat membuat gambaran secara komprehensif tentang Perjanjian, undang2 dan latar belakangnya.

Pak, Perjanjian kerja adalah bagian dari Hukum Perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Buku III tentang Perikatan ( didalam KUHPer ).

Tetapi kalau kita kembali ke topiknya : Bagaimana sih memahami ketentuan per UUan yang dianggap Multi Tafsir?.

Kalau dikalangan orang hukum pak ada anekdot : ada 100 Sarjana Hukum....Pasti ada 100 tafsir atau opini, dan itu dihargai. jadi kesimpulannya?
Mulfitafsir itu biasa dan memperkaya wawasan bagi kalangan ahli hukum.
Jadi kalau HRD nya yang satu dari latar belakang Sarjana Hukum dan yang lain dari latar belakang disiplin Ilmu lain, dalam menafsirkan Peraturan atau Undang undang bisa sangat berbeda. oleh karena itu mari kita nikmati saja seperti " air mengalir", mari kita terus berdiskusi dan berkarya.....masalah HASIL...?, masing masing Pribadi kitalah yang tau apakah berguna bagi kita dan Perusahaan atau tidak.

Sekali lagi,
Salut buat bapak, dan teruslah berkarya.

Salam hormat,
Pontas


Dari: sbarkah <sbarkah@gmail.com>
Kepada: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Dikirim: Selasa, 18 September 2012 22:39
Judul: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)

Dear Pak Sinurat,
No worries, Pak. Terima kasih sudah dikembalikan ke topiknya. Saya kuatir rekan milis hanya tertarik berdiskusi dengan hal-hal yang kasuistis (case by case) daripada hal-hal yang dapat diimplementasikan secara menyeluruh (tidak parsial).

Dear rekans diskusi,

Bagaimana kalau saya memahami ketentuan perUUan yang seringkali menjadi muti tafsir yang dikarenakan beberapa hal/sebab termasuk yang telah disampaikan oleh Pak Sinurat dengan menggunakan sbb:

  1. Asas hukum/adagium.
  2. Hierarki perUUan (UU 12/2011 ttg tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan).
  3. Beberapa pasal dalam KUH Perdata

Dalam beberapa asas hukum/adagium dikenal sbb:
  1. Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya).
  2. Lex posteriori derogat lege priori (Peraturan yang TERBARU mengesampingkan peraturan yang SEBELUMNYA).
  3. Lex specialis derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan peraturan yang bersifat LEBIH UMUM).
  4. LEX DURA, SED TAMEN SCRIPTA (sekalipun isi undang-undang itu terasa kejam, tetapi memang demikianlah bunyinya, dan harus dilaksanakan). LEX DURA SED ITA SCRIPTA atau LEX DURA SED TAMENTE SCRIPTA (undang-undang adalah keras tetapi ia telah ditulis demikian – pasal 11 KUHP).
  5. NTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).
  6. LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim. Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10).

Dalam UU 12/2012 dalam Pasal 7 dinyatakan sbb:
(1)  Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.       Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d.       Peraturan Pemerintah;
e.       Peraturan Presiden;
f.        Peraturan Daerah Provinsi; dan
g.       Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2)  Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Beberapa pasal dalam KUH Perdata diantaranya sbb:

1320; 1338; 1339; 1342 – 1351.

1320.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.


1338.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

1339.
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

  
Tentang penafsiran suatu perjanjian

1342. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.
1344. Jika suatu janji dapat diberi dua arti, maka janji itu harus dimengerti menurut arti yang memungkinkan janji itu dilaksanakan, bukan menurut arti yang tidak memungkinkan janji itu dilaksanakan. (KUHPerd. 887.)
1345. Jika perkataan dapat diberi dua arti, maka harus dipilih arti yang paling sesuai dengan sifat perjanjian. (KUHPerd. 887.)
1346. Perkataan yang mempunyai dua arti harus diterangkan menurut kebiasaan di dalam negeri atau di tempat perjanjian dibuat. (AB. 15.)
1347. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam perjanjian, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam perjanjian. (KUHPerd. 1339, 1492.)
1348. Semua janji yang diberikan dalam satu perjanjian harus diartikan dalam hubungannya satu sama lain; tiap-tiap janji harus ditafsirkan dalam hubungannya dengan seluruh perjanjian.
1349. Jika ada keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)
1350. Betapa luas pun pengertian kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu perjanjian, perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan kedua pihak sewaktu membuat perjanjian. (KUHPerd. 1854.)
1351. Jika dalam suatu persetujuan dinyatakan suatu hal untuk mewelaskan perikatan, hal itu tidak dianggap mengurangi atau membatasi kekuatan persetujuan itu menurut hukum dalam hal-hal yang tidak disebut dalam persetujuan.


Dari ketiga rujukan (asas hukum/adagium, hierarki perUUan maupun KUH Perdata) tersebut diatas, jika dalam diskusi tentang ketentuan UU Ketenagakerjaan (UU 13/2003), maka terdapat:
  1. Pasal 52 ayat (3) terkait ketentuan Perjanjian Kerja (PK) versus perUUan yang berlaku. 
  2. Pasal 111 ayat (2)  terkait Peraturan Perusahaan (PP) versus versus perUUan yang berlaku, dan 
  3. Pasal 124 ayat (2) terkait Perjanjian Kerja Bersama (PKB) versus versus perUUan yang berlaku.
Tentunya, ketiga pasal tersebut diatas ada penjelasannya.

Dari beberapa/sebagian perUUan diatas, maka jika terdapat multi tafsir terhadap ketentuan dalam PK, PP atau PKB, maka karena kesepakatan/perjanjian para pihak yang sah sebagaimana pasal 1338 KUH Perdata dikategorikan sebagai UU bagi para pembuatnya, maka kedudukan/hierarki PK, PP, PKB harus dilihat dari kedudukan/tingkatan para pihak yang membuat UU. Artinya, UU Ketenagakerjaan yang dibuat oleh Pesiden dan DPR memiliki kedudukan LEBIH TINGGI dari UU (PK/PP/PKB) yg dibuat oleh Perusahaan/Pengusaha dan Pekerja. CMIIW.
Dengan kata lain, meskipun PK, PP maupun PKB sebagai UU bagi para pembuatnya, maka TIDAK SERTA MERTA ketentuan dalam PK, PP maupun PKB tidak dibatasi oleh ketentuan yang memiliki kedudukan lebih tinggi melalui asas hukum Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH. CMIIW.
Hal ini tersirat dalam ketentuan UU 13/2003 pasal 52 ayat (3), pasal 111 ayat (2) maupun pasal 124 ayat (2).

Demikian juga terkait ketentuan pasal 1320 KUHP versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003.

Pasal 1320 KUH Perdata:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. Suatu hal tertentu;
  4. Suatu sebab yang halal.

Pasal 52 ayat (1) UU 13/2003.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.       Kesepakatan kedua belah pihak;
b.       Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.       Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.       Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Dalam perjanjian sesuai pasal 1320 KUH Perdata versus pasal 52 ayat (1) UU 13/2003, pemahaman saya, ketentuan pasal 52 ayat (1) UU 13/2003 mengesampingkan ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana asas hukum Lex specialis derogate lege generali (Peraturan yang LEBIH KHUSUS mengesampingkan peraturan yang bersifat LEBIH UMUM). CMIIW.

Dalam pasal 52 ayat (3) UU 13/2003 menyatakan sbb:
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.

Penjelasannya:
Cukup jelas

1342 KUHP. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.

Asas hukum INTERPRETATIO CESSAT IN CLARIS (jika teks atau redaksi UU telah terang benderang dan jelas, maka tidak diperkenankan lagi menafsirkannya, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas sekali berarti penghancuran – interpretation est perversio). ABSOLUTE SENTIENFIA EXPOSITORE NON INDIGET – Simple Proposition Needs No Expositor (sebuah dalil yang sederhana tidak membutuhkan penjelasan lebih lanjut).

Asas hukum Lex superiori derogat lege priori (Peraturan yang LEBIH TINGGI mengesampingkan peraturan yang LEBIH RENDAH tingkatannya) tersurat dalam pasal 111 ayat (2) UU 13/2003 dinyatakan sbb:

Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Penjelasannya menyatakan sbb:
Yang dimaksud dengan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah peraturan perusahaan tidak boleh lebih rendah kualitas atau kuantitasnya dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan apabila ternyata bertentangan, maka yang berlaku adalah ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 124 ayat (2) UU 13/2003 menyatakan sbb:

Dalam hal isi perjanjian kerja bersama bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

Penjelasannya:
Yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kualitas dan kuantitas isi perjanjian kerja bersama tidak boleh lebih rendah dari peraturan perundangan-undangan.


Demikian juga dalam KUH Perdata menyatakan
1342. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidak diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
1343. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberi berbagai tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.
1349. Jika ada keragu-raguan, suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta diadakan perjanjian dan atas keuntungan orang yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian itu. (KUHPerd. 1273, 1473, 1509, 1865, 1879.)

Dari beberapa rujukan diatas, apakah tepat untuk memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir?
Dengan kata lain, jika masih terdapat multi tafsir, sehingga dapat diperselisihkan, maka sesuai UU 2/2004, maka hakimlah yang akan memutuskan mana yang sesuai dengan MAKSUD pembuat UU sebagaimana asas hukum LA BOUCHE DE LA LOI / LA BOUCHE DE DROIT Spreekhuis van de wet (apa kata UU itulah hukumnya). Hakim adalah corong atau mulut undang-undang à Menurut paham ini, hakim bukan saja dilarang menerapkan hukum di luar undang-undang. Penafsiran terhadap undang-undang adalah wewenang pembentuk undang-undang dan bukan wewenang hakim.
Yang benar: Hakim bukan mulut atau corong undang-undang, melainkan mulut atau corong keadilan (Bagir Manan, 2005 : 10)

Monggo dikoreksi dan/atau ditambahkan karena saya orang awam dalam ilmu hukum ketenagakerjaan yang ingin mengetahui dan memahami ilmu hukum ketenagakerjaan dengan benar/sesuai dengan perUUan yang berlaku.

Demikian dan terima kasih. Mohon MAAF jika membosankan tulisan saya ini.

Salam,
Barkah



 
Dear all,

Menurut saya perbedaan penafsiran perundang-undangan ketenagakerjaan adalah hal yang sangat wajar, karena akan selalu terkait dengan 2 kepentingan atau sudut pandang para pihak yang terlibat dalam proses produksi, yakni pengusaha dan pekerja/buruh. Di samping itu nature of business perusahaan dan pengalaman masing-masing orang dapat mempengaruhi penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU.

Saya pikir pembuat UU juga telah memprediksi hal ini, hingga dalam UU No 2 Tahun 2004 dikenal Perselisihan Hak, yakni perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, PK, PP atau PKB.

Mana penafsiran yang benar sebagaimana sering mencuat dalam tema-tema diskusi selama ini, menurut saya para peserta diskusi yang harus menyaring dan memilah-memilah sesuai kondisi masing-masing perusahaannya. Oleh karenanya agak sulit jika kita mengharapkan akan merucut pada suatu kesimpulan, tetapi setidaknya proses diskusi yang mengalir memperkaya perspektif dan wawasan kita masing-masing.

Regards,

Sinurat
Powered by Telkomsel BlackBerry®


From: jack sinurat <suryanto.sinurat@gmail.com>
Date: Tue, 18 Sep 2012 12:51:18 +0700
Subject: Bagaimana sih memahami ketentuan perUUan yang dianggap multi tafsir? (NEW THREAD)

Dear para praktisi HR dan IR,

Terpicu dari beberapa diskusi/thread terkait perbedaan pemahaman, interpretasi terhadap ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan sehingga seringkali diskusinya panjang, namun bukannya mengerucut pada satu "kesimpulan" (baca: bukan putusan), sebaliknya kadangkala beberapa pemahaman, pendapat atau tanggapan dari kita semua sulit untuk ditangkap "kesimpulan" akhirnya.

Semoga diskusi dalam thread ini menjadi "template" cara menjawab atau menyelesaikan pertanyaan kasus per kasus berdasarkan perUUan selaku base line selain mendapatkan latar belakang dibuatnya perUUan terkait.

Mohon pencerahannya.

Salam,
Barkah


Dear all rekans,

Diskusi yang sebelumnya dibuat oleh Pak Barkah ini, saya perbaharui lagi sebagai bentuk permintaan maaf dan penyesalan saya telah merusak Tema Diskusi yang sangat menarik. Sekali lagi mohon maaf ya Pak Barkah..:-(

So kembali ke topik yang diajukan oleh Pak Barkah tentang interpretasi terhadap ketentuan perUUan khususnya tentang Ketenagakerjaan.

Regards,

sinurat



Ketentuan tentang lembur


From: Fransiska SH <venuspw@yahoo.com>
Date: 2012/5/21
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur
To: "Diskusi-HRD@yahoogroups.com" <Diskusi-HRD@yahoogroups.com>

Dear All,

terima kasih u/ inputannya yg sangat membangun, waktu kerja di Perusahaan adalah 5-2, dengan rata2 lembur 1 hari 3 - 5 jam. ( Perusahaan bergerak dlm bidang Telekomunikasi, Leasing Tower ). Karena saya baru di Perusahaan Telko ( dan sebelumnya belum pernah ada HR yang mengaturnya, krn perusahaan ini pun baru berjalan ), saya agak kaget juga dengan sistem yg di gunakan ini, yg perhitungan lemburnya mengacu ke 1/173 x gapok, misal Gaji Pokok A 3.000.000 Maka Perusahaan memberikan lembur maksimal 1/173 x gapok x 55 jam. ( langsung di kalikan dengan total lembur dalam 1 bulan ). sudah saya sy sampaikan pada pihak Management bahwa hal tsb bukanlah perhitungan yang benar, akan tetapi putus dengan asumsi salah satu klausul yaitu mengikuti kebijakan Perusahaan.

kalau di lihat dari sisi gaji, karyawan sudah mendapatkan gaji yg pantas dengan tunjangan2 yang cukup memadai bagi karyawan & keluarganya, hanya pada perhitungan lembur lah saya merasakan kejanggalan. takutnya di kemudian hari akan menjadi bumerang bagi Perusahaan.

bagaimana sebaiknya formula yg di gunakan.?

best Regards,


Sent: Sunday, May 20, 2012 12:22 PM

Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur

 
Oiya ya.... Saya kok missed dgn yg Pak Santo sampaikan.

Terima kasih atas koreksinya, Pak Santo.
Berarti kita menunggu si penanya apakah waktu kerjanya 5-2, 6-1 atau ikut sektor usaha tertentu.

Salam,
Barkah
Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: Santo Agus <santos.ironmaiden@yahoo.com>
Date: Sat, 19 May 2012 05:28:58 -0700 (PDT)
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur

 
Dear Pak Barkah and all,
Saya kira kasusnya tidak bisa digeneralisasi begitu saja sebelum kita mengetahui persis kondisinya, karena bisa saja perusahaan dari si penanya awal adalah perusahaan sektor tertentu seperti yang diatur dalam pasal 78 ayat (3) UU 13/2003 vide pasal 5 Kepmen 102/2004. 

Salam
Santo AS


From: Barkah <sbarkah@gmail.com>
To: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
Sent: Saturday, May 19, 2012 12:52 AM
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur

 
Dear Pak Riyan,

Justru karena contoh total lembur si A adalah 240 jam, maka contohnya sangat tidak spesifik dan tidak terukur.
Mengapa? Karena kerja lembur aktualnya tidak diceritakan oleh penanya. Angka total 240 jam setelah ditarif akan bisa didapat dari beberapa kondisi, sehingga saya sependapat bahwa BELUM TENTU melanggar.
Namun, kondisi yg SUDAH PASTI adalah kerja lembur aktual pada hari kerjanya MELEBIHI 3 jam (belum ditarif) sudah melanggar dan dapat TERKENA SANKSI.
Demikian juga, jika dalam seminggu (diluar hari istirahat mingguan) kerja lembur aktualnya (belum ditarif) MELEBIHI 14 jam/SEMINGGU, maka saya bilang melanggar dan dapat DIKENAKAN SANKSI.

Demikian dan salam,
Barkah
Powered by Telkomsel BlackBerry®

From: Riyan Permadi <riyanpermadi@gmail.com>
Date: Wed, 16 May 2012 11:24:17 +0800
Subject: Re: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur

 
Rekan2,

Hitungan 240 jam nya bukan total jam lembur aktual. Angka 240 yg dimaksud adalah pengali thd satuan upah lembur (240/173 x upah). Kedua hal ini sama sekali berbeda. 

Angka aktual jam lemburnya pasti dibawah itu, terutama bila lemburnya di hari istirahat & hari libur nasional. Jadi belum tentu melanggar juga.

Dengan asumsi perhitungannya benar, maka (240/173 x upah) itu wajib dibayar sepenuhnya oleh perusahaan.

Salam
Riyan.

2012/5/16 sbarkah <sbarkah@gmail.com>
 
Mengapa musti "jauh-jauh" sampai 240 jam baru menanyakan apakah menyalahi UUK?

Kalau berkenan mencermati ketentuan pasal 78 ayat (1) huruf b UUK sbb:
waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan PALING BANYAK 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) HARI dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu. 

Pasal 188 UUK:
  1. (1)  Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2),
Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, dan Pasal 148, dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
  1.  
(2)  Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pipdana pelanggaran. 

Dengan kata lain, jika kerja lemburnya pernah 4 (empat) jam sehari atau MELEBIHI 3 jam pada hari kerjanya, maka sudah masuk kategori pasal 188.

Demikian dan seoga bermanfaat.

Salam,
Barkah


2012/5/14 hrdperso_spj <hrdperso_spj@yahoo.co.id>
 

Pertanyaan selanjutnya,

1. Bagaimana kalau ternyata total lembur itu melebihi angka pembagi 173??

jadi misalkan total lembur si A adalah 240 jam

kemudian dimsukan ke rumus 240/173 dikalikan gaji

Namun semua biaya lembur ini dibayarkan oleh perusahaan

2. Apakah hal diatas menyalahi UUK?

Note : angka 240 jam itu sudah dikalikan sesuai ketentuan:

a. 1 jam pertama dikalikan 1.5
b. 2 jam dst dikalikan 2

tq


--- In Diskusi-HRD@yahoogroups.com, Fransiska SH <venuspw@...> wrote:
>
> dear pak Pontas,
>
> trims pak untuk inputannya, kebetulan saya baru masuk di Perusahaan ini & jawaban bapak cukup membuka Wacana saya.
>
> best regards, 
>
>
>
> ________________________________
> From: Pontas Silalahi <pontheags@...>

> To: Diskusi-HRD@yahoogroups.com
> Sent: Saturday, May 12, 2012 11:17 AM
> Subject: Bls: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur
>
>
>  
> Dear bu Fransiska,
> Setahu saya tentang lembur itu sudah tercakup  di :

> 1. PKWT/PKWTT
> 2. PP/PKB
> 3. Permenaker No. 102/VI/2004
> 4. Permenaker No 15/VII/2005 ( Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu ).
> 5. UU Tenaga kerja No. 13 Tahun 2003.( Pasal 77, 78, 79, 85 ) Dsb.
> Berarti sudah jelas dalam hal Peraturan dan Undang undangnya
> Seperti istilah hukumnya : Lex Superior Derogat Legi Inferior.
>
> Tetapi Perusahan banyak yang memakai  Lex Specialist Derogat Legi Generali, padahal ini tidak bisa diterapkan di pakai didunia Ketenaga kerjaan, yang ada nantinya adalah Arogansi, Semaunya sendiri, dan banyak melanggar peraturan lainnya.

>
> Menurut saya ( diluar sudah dibuat dan dibatasi di PP nya Perusahaan Bu Fransiska ).
> 1. Lembur itu kan diadakan karena kepentingan Perusahaan?
> 2. Lembur itu berarti nilai
> tambah yang berlipat ganda bagi Perusahaan?
> 3. Berarti Lembur itu diadakan karena telah disetujui oleh Level Supervisor keatas? dan dibuat form lembur yang resmi dan ditanda tangani dan disetujui oleh perwakilan Manajemen/Perusahaan.
> Apalagi yang dipermasalahkan?.
>
> Apabila dilihat nilainya?, berarti kan logikanya adalah Perusahaan akan diuntungkan jauh lebih tinggi dari nilai lemburnya sendiri( kan begitu Logikanya? ).
>
> Kan alangkah lucu sekali, perusahaan meminta lembur demi keuntungan untuk Perusahaan dan Benefit untuk Perusahaan, tetapi nilai lemburnya di permasalahkan?.
>
> Note. Kan tidak mungkin dong Karyawan yang meminta dan menentukan lembur?.
>
> Dan masalah lembur ini memang banyak terjadi di berbagai Perusahaan yang membuat kita sebagai HR menjadi dilemmatis dan terjepit diantara kepentingan Owner dan tuntutan Karyawan.( banyak terjadi di Perusahaan Menengah-ke Bawah ).
>
> Jawaban saya tentang pertanyaan bu
> Fransiska :
> 1. OKE saja, dengan catatan karyawan sudah diberitahu dan telah didiskusikan dengan mereka( apalagi telah dibuatkan di PP ).
> 2. Tetapi kita sebagai HR Gregetan saja karena ada sesuatu yang mengganjal di dalam hati nurani kita apabila mengambil keputusan menyerempet nyerempet Peraturan & UU dan kita pabila punya owner demikian akan capekkk deh....( hehehe ).
>
> Saya meminta maaf apabila jawabannya panjang dan kurang memuaskan, dan mungkin dapat ditambahin oleh rekan rekan yang lain.
>
> Salam HR,
> Pontas
>
>
>
>
> --- Pada Jum, 11/5/12, Fransiska SH <venuspw@...> menulis:
>
>
> >Dari: Fransiska SH <venuspw@...>

> >Judul: [Diskusi HRD Forum] Re: ketentuan tentang lembur
> >Kepada: "Diskusi-HRD@yahoogroups.com" <Diskusi-HRD@yahoogroups.com>
Tanggal: Jumat, 11 Mei, 2012, 3:32 AM

Dear All,

perusahaan di tempat saya bekerja memberlakukan satu ketentuan lembur yaitu di batasi maksimal dalam 1 bulan adalah 55 jam. jadi kalau dalam 1 bulan perhitungan lemburnya adalah 60 jam, maka yang di setujui oleh HRD / Management adalah 55 jam. dan perumusannya menggunakan 1/173 x gapok. ketentuan tentang lembur tersebut ada tertulis pada Surat Keputusan Direksi tentang batas maksimal 55 jam dan Peraturan Perusahaan. mohon masukannya, apakah hal tersebut dapat di legalkan? yaitu tidak akan adanya tuntutan dari karyawan bahwa jika lembur diatas 55 jam, maka selisihnya hangus?

mohon masukan dari rekan - rekan HRD sekalian.
terima kasih

fransiska





__._,_.___